Peran Bintang Kidang dalam Pertanian Baduy Banten Selatan

Peran Posisi Bintang Kidang Dalam Pemeliharaan Varietas Padi Ladang Oleh Masyarakat Baduy Banten Selatan

Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi kekayaan alam untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat[1]. Saat ini musim yang tidak menentu serta adanya perubahan iklim memberikan dampak negatif bagi Indonesia terutama pada hasil panen padi. Para petani kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk memulai musim tanam. Dalam hal ini, masih banyak petani yang berbekal pengetahuan lokal dalam mempertahankan budayanya dalam bertani, salah satunya adalah masyarakat Baduy Banten Selatan.

Pelestarian keanekaragaman hayati menjadi hal yang sangat penting. Selain menjaga kestabilan ekosistem, hal ini juga memiliki fungsi produktivitas terutama untuk kepentingan ekonomi. Varietas padi lokal (seperti padi ladang) memiliki nilai lebih baik ditinjau secara finansial maupun citra rasa dan kepuasan.

Sebelum adanya kebijakan revolusi hijau dengan mengintroduksi bibit padi unggul bagi petani Indonesia diperkirakan tercatat lebih dari 8000 varietas padi. Pada saat pasca revolusi hijau akhir tahun 1960-an, homogenisasi budidaya varietas padi unggul baru menyebabkan hilangnya berbagai varietas padi lokal di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Selain itu, hilangnya berbagai varietas padi lokal juga telah menyebabkan pula hilangnya pengetahuan penduduk lokal terhadap keanekaragaman varietas padi lokal dan cara memeliharanya terutama dalam bertani[2].

Masyarakat suku Baduy tinggal di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku ini merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, ditengah-tengah kemajuan peradaban di sekitarnya. Konsep pembangunan berkelanjutan telah diajarkan secara turun temurun oleh masyarakat Baduy, tanpa terlebih dahulu mengenal istilah pembangunan berkelanjutan yang menjadi isu internasional. Prinsip perubahan sekecil-kecilnya dan alam merupakan titipan dari Tuhan untuk anak cucu, mendasari pemikiran masyarakat dan mempengaruhi segala aktivitas kehidupan mereka. Gaya hidup sederhana tanpa mengharapkan bantuan dari luar telah membangun mental yang mandiri dan berkelanjutan. Kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat disana justru menjadi pelajaran bagi masyarakat modern. Seluruh masyarakat di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun[3].

Bintang kidang (Sunda) atau Waluku (Jawa) dalam istilah astronomi disebut dengan The Belt of Orion merupakan tiga bintang terang yang berjajar membentuk sabuk Orion (Alnitak, Alnilam, Mintaka). Kidang dalam bahasa sunda berarti kijang yang gesit. Istilah ini digunakan untuk menamai jenis-jenis keris khususnya di daerah Sunda. Sehingga, tiga bintang terang yang berjejer tersebut diinterpretasikan dalam bentuk menyerupai keris (Gambar 2).

Posisi bintang kidang menjadi indikator utama yang digunakan masyarakat Baduy dalam menyusun kalender pertanian. Kemampuan masyarakat Baduy dalam menggambarkan posisi bintang kidang telah dikenal dengan empat ungkapan[2]:

Tanggal kidang turun kujang, apabila bintang kidang berada di ufuk timur, masyarakat harus memulai menebang semak-semak belukar dengan kujang (perkakas seperti parang).

Kidang ngarangsang kudu ngahuru, apabila posisi bintang kidang ngarangsang (seperti posisi matahari yang sudah tinggi), masyarakat harus membakar sisa-sisa tebangan dan persiapan berladang.

Kidang nyuhun atawa condong ka barat kudu ngaseuk, apabila bintang kidang diatas kepala atau sudah miring ke barat harus tanam padi.

Kidang marem turun kungkan, apabila bintang kidang tidak lagi terlihat maka pantang untuk bertanam karena banyak hama serangga.

Secara astronomis pada ungkapan pertama merupakan permulaan kegiatan bertani dimana kalender awal tahun dimulai di bulan Sapar (April-Mei). Jika dilihat dari waktu kemunculannya, pada bulan inilah bintang kidang diyakini oleh masyarakat muncul di ufuk timur namun kemunculannya tidak dapat dilihat karena posisi bintang kidang di ufuk timur terjadi pada saat pagi hari dimana cahaya bintang kidang teredam/terkalahkan oleh cahaya matahari. Walaupun begitu jika ingin melihat kenampakannya, dapat dibuktikan dengan waktu kemunculannya yang berlawanan dimana bintang kidang terlihat pada saat matahari terbenam di ufuk barat. Kujang merupakan senjata tradisional yang digunakan oleh leluhur masyarakat Sunda dalam berladang (Gambar 3). Hingga kini alat tersebut masih digunakan oleh masyarakat suku Baduy dalam berladang khususnya untuk menebang semak-semak belukar.

Berdasarkan keyakinan masyarakat suku Baduy, pada ungkapan kedua dan ketiga terjadi di bulan Kalima, Kanem, dan Kapitu (Mei-Agustus). Secara astronomis bintang kidang terletak tepat diatas kepala, sekitar setinggi matahari, atau sedikit condong ke barat. Dalam hal ini, bintang kidang pada posisi tersebut tidak dapat dilihat oleh mata karena terjadinya pada waktu siang hari.

Adapun secara astronomis, pada ungkapan keempat, setelah matahari terbenam, bintang kidang  tidak terlihat di ufuk barat. Posisi tersebut terjadi di bulan Kasalapan (Agustus-September) yang menandakan berakhirnya kegiatan berladang atau pantang untuk menanam padi.

Ditinjau secara etik, persiapan-persiapan yang dilakukan masyarakat suku Baduy sebelum berladang merupakan perilaku yang sangat baik dan patut ditiru. Penebangan dan pembakaran semak belukar dinilai mampu memberikan nilai tambah bagi kesuburan tanah. Sisa pembakaran semak belukar yang nantinya menjadi abu, justru menjadi pupuk organik dimana sisa pembakaran tersebut mengandung zat-zat kimia yang diperlukan oleh tanah seperti natrium, kalium, dan fosfor (NPK). Begitu pula dalam memulai tanam hingga pantangan menanam, mengingat salah memilih waktu tanam padi dapat mengalami kegagalan panen. Walaupun begitu, masyarakat suku Baduy memiliki budaya antisipasi yang sangat baik yaitu pada bulan Hapit Lemah (November-Desember) melakukan ngubaran pare (pengobatan pestisida nabati).` Sehingga selain mencegah adanya serangan hama, penggunaan pestisida nabati telah menyelamatkan lingkungan dari ancaman kerusakan ekologis. Upaya masyarakat suku Baduy dalam menaati kalender pertanian dilakukan hanya dalam konsdisi iklim normal. Jika tidak maka masyarakat berhak mengubah awal tahun kalender pertanian.  

Pengetahuan emik masyarakat Baduy dalam berladang (ngahuma) mampu mempertahankan keberadaan varietas padi lokal (huasan pare). Saat ini telah tercatat 89 varietas padi lokal yang dipelihara oleh masyarakat Baduy[2].

Terpeliharanya keanekaragaman varietas padi lokal memiliki berbagai keuntungan. Bulir padi yang berbuluh tidak disukai oleh hama pemakan padi seperti burung pipit, tikus, dan lain-lain sehingga akan aman dari serangan. Jikalau ada suatu blok ladang yang mengalami gagal panen maka masyarakat menanam kembali ladang tersebut dengan padi yang berumur pendek. Sementara itu dengan adanya keanekaragaman ini, masyarakat memiliki rasa kepuasan dan kenikmatan tersendiri terkait citra rasa yang diciptakan oleh masing-masing jenis[2].  

Referensi:

[1]LEMHANNAS. 2014.Revitalisasi Kebijakan Agraria Guna Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian LEMHANNAS RI edisi 14

[2]Iskandar, J. 2012. Etnobiologi dan Pengembangan Berkelanjutan. Puslitbang KPK LPPM Universitas Padjadjaran. Bandung

[3]Prihantono, F. 2006. Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy (Sustainable Life of BADUY Tribe Community). Asia Good ESD Practice Projec 

*Riset literatur ini pernah dipublikasikan di PROSIDING SEMINAR ASTRONOMI DALAM BUDAYA NUSANTARA. Yogyakarta 25 Mei 2015

Tinggalkan komentar