merindukan hujan di musim panas

ah aku terlalu naif. apa mungkin?

banyak hal yang tak dapat kusembunyikan. banyak pula yang terlalu gamblang kuperlihatkan. ya mungkin saja, aku yang terlalu jujur. mudah sekali mulut ini berucap. tapi mengapa hati ini sulit untuk berkata tidak?

ah aku terlalu naif.

kenangan itu masih saja dalam bayangan. entah seakan-akan hanya sebagai permainan tuan merah, atau itu sebuah ilusi yang nyata. aduhai, mana ada ilusi yang nyata(?) ya benar sudah, kini aku terlalu naif.

saat kata maaf terucap dari dirimu, aku membayangkan berbagai hal. bahkan terlalu jauh. apa maksud dari itu semua? apa itu sebuah tanda (?) semoga bukan tentang perpisahan ataupun pemberhentian. layaknya bus yang berhenti di tiap haltenya. lagilagi kenangan itu menghantui. ya aku terlalu naif.

terlalu mudah bagiku untuk menyimpulkan. merangkai dari setiap kejadian. katanya itu memang sifat perempuan yang suka sekali mengandai-andai apalagi berharap. bagiku, harapan adalah obat kehidupan. bayangkan saja jika tak ada harapan, sepertinya kamu akan berada di dalam pikiran yang kosong dan antah berantah entah kemana. harapan yah harapan. perempuan memang sulit dimengerti.

kenaifan ini seperti saat aku merindukan hujan di musim panas.
masih ingat kah kamu konotasi hujan? ya seperti itulah.

mungkin hujan sudah bosan mendengar namamu. sama seperti sajadah yang sudah bosan menjadi saksi penyebutan namamu dalam doaku. baiklah, lagilagi aku akui. aku terlalu naif.

ada rahasia antara aku dan hujan. apa kamu tahu sudah berapa lama rahasia ini tersimpan (?)

Tasikmalaya, 8 Juli 2014
23.13 (UT+7)

Tinggalkan komentar